OTONOMI DAERAH
TUGAS
MAKALAH KELOMPOK 7
OTONOMI
DAERAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dari pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi
hak otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan
sendiri.
Implementasi
otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat untuk
mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kedua UU otonomi daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25
Tahun 1999 sehingga kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.
Sejalan
dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan
pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya
perimbangan tugas fungsi dan peran antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah tersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan
yang cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul
tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan
masing-masing daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif
di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing.
Memang
harapan dan kenyataan tidak lah akan selalu sejalan. Tujuan atau harapan tentu
akan berakhir baik bila pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan juga
berjalan baik. Namun ketidaktercapaian harapan itu nampak nya mulai terlihat
dalam otonomi daerah yang ada di Indonesia. Masih banyak permasalahan yang
mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan
itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah
dapat tercapai.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan ini penulisan memberikan
batasan-batasan masalah, meliputi :
- Eksploitasi Pendapatan Daerah
- Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan
otonomi
daerah yang belum mantap - Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
- Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
- Korupsi di Daerah
- Potensi munculnya konflik antar daerah
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini di bagi menjadi 1 yaitu, tujuan
umum dan khusus:
1.3.1 Tujuan Umum
1. Mengetahui permasalahan dalam pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia
1.3.2 Tujuan Khusus
Menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan tentang Permasalahan Dalam Otonomi Daerah
1.4. Manfaat Penulisan
- Sebagai bahan pelajaran bagi mahasiswa.
- Sebagai wacana awal bagi penyusunan makalah selanjutnya.
- Sebagai literature untuk lebih memahami otonomi daerah di Indonesia.
1.5. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Karya Tulis ini, sistematika penulisan
yang digunakan adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang : Latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Berisi tentang : Pembahasan mengenai permasalahan
dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
BAB III PENUTUP
Berisi tentang : kesimpulan dan saran.
1.6. Metodologi Penelitian
• Studi pustaka yaitu
dengan mencari referensi dari buku-buku yang berkaitan dengan penulisan karya
tulis ini
• Penjelajahan internet
yaitu dengan mencari beberapa informasi di mesin pencari yang tidak penulis
tidak dapatkan dari buku-buku
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi
Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan
aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan
daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang
secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya
dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali
dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi
sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai
pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia
dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang
melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan
untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan
pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan
relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal,
sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat
daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan
perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan sosial ekonomi diharapkan
dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan
efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
2.2 Permasalahan Dalam Otonomi
Daerah Di Indonesia
Sejak
diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi Daerah, banyak orang sering
membicarakan aspek positifnya. Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi
daerah membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk
mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem
pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku
pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu,
pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan
pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru
mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut
tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut.
Akan
tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu tidak terbersit kekhawatiran bahwa
otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan yang, jika tidak segera
dicari pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya?
Jika jawabannya tidak, tentu akan sangat naif. Mengapa? Karena, tanpa
disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi
daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan yang dikhawatirkan bila
dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk pada susunan ketatanegaraan
Indonesia.
Masalah-masalah tersebut antara lain :
- Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
- Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap
- Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
- Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
- Korupsi di Daerah
- Adanya potensi munculnya konflik antar daerah
Permasalahan tersebut dibahas lebih
lanjut sebagai berikut :
2.3 Adanya
eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah satu
konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan
keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi
pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya
sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan
upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini
didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk
melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar
seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan
menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah
juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan
pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan
skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam
pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan
retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan
karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah
kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis modern. Pola
peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan
pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi
di daerah itu salah? Tentu tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang
adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan
retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah kebablasan dalam meminta
sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika menghitung berapa item pajak dan
retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah. Jika diteliti, jumlahnya akan
mencapai ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan
warga DKI Jakarta, bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi
objek pungutan Pemda DKI, sampai-sampai buang hajat pun harus membayar
retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika
menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah produk. Logika yang
dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame berjalan. Hal
ini terlihat lucu. Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa membedakan
mana reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk yang berfungsi
sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika perda
tersebut diberlakukan (sepertinya kurang meyakinkan apakah perda tersebut jadi
diberlakukan atau tidak), akan timbul kesulitan besar dalam penghitungan dan
pemungutan retribusi.
Dengan
dua contoh tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa upaya pemerintah daerah
dalam menggali pendapatan daerah di era otonomi ini telah melampaui batas-batas
akal sehat. Di satu pihak sebagai warga negara kita harus ikut berpartisipasi
dalam proses kebijakan publik dengan menyumbangkan sebagian kemampuan ekonomi
yang kita miliki melalui pajak dan retribusi. Akan tetapi, apakah setiap upaya
pemerintah daerah dalam memungut pendapatan dari rakyatnya hanya berdasarkan
justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran kepantasan, sejauh mana pemerintah
daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya?
Bila
dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung
eksploitatif semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam
jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah.
Persoalan pertama adalah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.
Meskipun satu item pajak atau retribusi yang dipungut dari rakyat hanya
berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara agregat jumlah uang
yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika pembayar
pajak atau retribusi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai.
Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah
dalam menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara empiris tidak
terbantahkan lagi bahwa banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi
yang ujung-ujungnya hanya akan merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat.
Kalau pemerintah daerah ingin menarik minat investor sebanyak-banyaknya,
mengapa pada saat yang sama justru mengurangi minat investor untuk berinvestasi
?
2.4 Korupsi
di Daerah
Fenomena
lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan
implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke
daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak
pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat
untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar
bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif
untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh lebih besar dari pada
sebelumnya. Belum lama diberitakan di Kompas (4/9) bagaimana legislatif Kota
Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per orang dengan
alasan menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan. Mengapa harus
ada bagi-bagi sisa anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa anggaran
seharusnya tidak dihabiskan dengan acara bagi-bagi, melainkan harus disetorkan
kembali ke Kas Daerah? Dipandang dari kacamata apapun perilaku pejabat publik
yang cenderung menyukai menerima uang yang bukan haknya adalah tidak etis dan
tidak bermoral, terlebih jika hal itu dilakukan dengan sangat terbuka.
Sumber
praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan
barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga
sebuah item barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara
bagian pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas
yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan bukti ketidakarifan
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah dari pihak ketiga
kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah diributkan dari
dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah
setelah mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup
para pejabat publik itu?
Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah:
- Korupsi Pengadaan Barang
Modus :
a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa
dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
- Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah)
Modus :
a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan
pribadi.
b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan
pribadi.
- Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan
resmi.
- Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
Modus :
a. Pemotongan dana bantuan sosial
b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
- Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah
ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar.
- Penyelewengan dana proyek
Modus : a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar
ketentuan resmi.
b. Memotong dana proyek tanpa sepengtahuan orang lain.
- Proyek fiktif fisik
Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi
secara fisik proyek itu
nihil.
- Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran.
Modus : a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak
tidak dilaporkan.
b. Penetapan target penerimaan
2.5 Penyelesaian
permasalahan otonomi daerah di Indonesia
Pada intinya, masalah – masalah tersebut seterusnya
akan menjadi persoalan tersendiri, terlepas dari keberhasilan implementasi
otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer melalui intensifikasi
pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya sudah ada sejak lama dan
akan terus berlangsung. Jika kini keduanya baru muncul dipermukaan sekarang,
tidak lain karena momentum otonomi daerah memang memungkinkan untuk itu.
Otonomi telah menciptakan kesempatan untuk mengeksploitasi potensi daerah dan
sekaligus memberi peluang bagi para pahlawan baru menganggap dirinya telah
berjasa di era reformasi untuk bertindak semau gue.
Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah
daerah semestinya bisa menempuh jalan alternatif, selain intensifikasi pungutan
yang cenderung membebani rakyat dan menjadi disinsentif bagi perekonomian
daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi perusahaan daerah.
Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah mengetahui alternatif ini.
Akan tetapi, jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka
pemerintah pasti punya alasan lain. Dugaan saya adalah bahwa pemerintah daerah
itu malas! Pemerintah tidak mempunyai keinginan kuat (strong will) untuk
melakukan efisiensi anggaran karena upaya ini tidak gampang. Di samping itu,
ada keengganan (inertia) untuk berubah dari perilaku boros menjadi
hemat.
Upaya
revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena
kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa
pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan
tidak berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada
situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan
baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh
jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui
privatisasi.
Dalam
kaitannya dengan persoalan korupsi, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan
terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Saya punya hipotesis bahwa
pemerintah daerah atau pejabat publik lainnya, termasuk legislatif, pada
dasarnya kurang bisa dipercaya, lebih-lebih untuk urusan yang berkaitan dengan
pengelolaan keuangan daerah. Tidak pernah sekalipun terdengar ada institusi
pemerintahan, termasuk di daerah yang terbebas dari penyalahgunaan uang rakyat.
Masyarakat harus turut aktif dalam menangkal perilaku korupsi di kalangan
pejabat publik, yang jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah
rakyat pembayar pajak yang diwakilinya. Rakyat boleh menarik mandat jika wakil
rakyat justru bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan
mengkhianati nurani keadilan masyarakat. Begitu juga, akhirnya seorang kepala
daerah atau pejabat publik lain bisa diminta turun jika dalam melaksanakan
tugasnya terbukti melakukan pelanggaran serius, yaitu korupsi dan menerima suap
atawa hibah dalam kaitan jabatan yang dipangkunya.
Pemeritah
juga seharusnya merevisi UU yang dipandang dapat menimbulkan masalah baru di
bawah ini penulis merangkum solusi untuk keluar dari masalah Otonomi Daerah
tanpa harus mengembalikan kepada Sentralisasi. Jika pemerintah dan masyarakat
bersinergi mengatasi masalah tersebut. Pasti kesejahteraan masyarakat segera
terwujud.
- Membuat masterplan pembangunan nasional untuk membuat sinergi Pembangunan di daerah. Agar menjadi landasan pembangunan di daerah dan membuat pemerataan pembangunan antar daerah.
- Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan mengadakan kegiatan menanaman nasionalisme seperti kewajiban mengibarkan bendera merah putih.
- Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena menurut penelitian korupsi yang dilakukan kepala daerah akibat pemilihan umum berbiaya tinggi membuat kepala daerah melakukan korupsi.
- Melakukan pengawasan Perda agar sinergi dan tidak menyimpang dengan peraturan diatasnya yang lebih tinggi.
- Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan daerah untuk mencegah pembentukan dinasti politik.
- Meningkatkan kontrol terhadap pembangunan di daerah dengan memilih mendagri yang berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di daerah.
- Melaksanakan Good Governence dengan memangkas birokrasi (reformasi birokrasi), mengadakan pelayanan satu pintu untuk masyarakat. Melakukan efisiensi anggaran.
- Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor SDA dan Pajak serta mencari dari sektor lain seperti jasa dan pariwisata digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
BAB III
PENUTUPAN
3.1. Kesimpulan
Otonomi
daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat
mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal.
Dimana untuk mewujudkan keadaan tersebut, berlaku proposisi bahwa pada dasarnya
segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk
mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkannya, kecuali untuk persoalan-persoalan
yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif
keutuhan negara- bangsa. Dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah pula
ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang
Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan
bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan
pentingnya kemandirian dan keprakarsaan dari daerah-daerah otonom untuk
menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan
pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan,kebijakan nasional otonomi daerah
ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18UUD 1945.
Adapun
dampak negative dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi
oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya
pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan
antara daerah yang pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih
berkembang.Bisa dilihat bahwa masih banyak permasalahan yang mengiringi
berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu tentu
harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah dapat
tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Diklat Teknis Penganggaran di Era Desentralisasi,
kerjasama LAN – Depdagri.
Seminar Desentralisasi Pemerintahan “Inventarisasi
Penyerahan Urusan Pemerintahan” Refleksi 10 tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda –
Depdagri.
Marzuki, M. Laica, 2007. “Hakikat Desentralisasi Dalam
Sistem Ketatanegaraan RI – Jurnal Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007″,
Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Siregar, Faris. 2011. Hambatan Pelaksanaan Otonomi
Daerah. Dari http://catatankuliahpraja.blogspot.com/2011/09/hambatan-pelaksanaan-otonomi-daerah.html, dikutip
pada 27 Maret 2012
Arthur, Muhammad. 2012. Menggugah Peran Aktif
Masyarakat dalam Otonomi Daerah. Dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=4437, dikutip
pada 27 Maret 2012
Lubis, Rusdi. 2011.PEMBINAAN SDM UNTUK PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH. D http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2474:pembinaan-sdm-untuk-pelaksanaan-otonomi-daerah&catid=11:opini&Itemid=83, dikutip
pada 27 Maret 2012
Undang-Undang No. 22/1999
Undang-Undang No. 32/2004
Komentar
Posting Komentar